Seorang Patih Bali yang Sangat Kuat dan Berjiwa Besar Kalah Oleh Sebuah Tipu Muslihat "
Pura Gunung Kawi Bali, yang konon
dibuat oleh Kebo Iwa
Dikisahkan di Bali adalah raja
bernama Sri
Gajah Waktera (Dalem Bedaulu), bergelar Sri Astasura Ratna
Bumi Banten yang dikatakan sebagai seorang pemberani serta sangat
sakti. Disebabkan karena merasa diri sakti, maka keluarlah sifat angkara murkanya, tidak sekali-kali merasa
takut kepada siapapun, walau kepada para dewa sekalipu
n. Sri Gajah Waktera
mempunyai sejumlah pendamping yang semuanya memiliki kesaktian, kebal serta
juga bijaksana yakni : Mahapatih Ki Pasung Gerigis, bertempat tinggal di
Tengkulak, Patih
Kebo Iwa bertempat di Blahbatuh, keturunan Kyai Karang Buncing, Demung I Udug
Basur, Tumenggung Ki Kala Gemet, Menteri Girikmana – Ularan berdiam di Denbukit, Ki Tunjung Tutur
di Tianyar, Ki
Tunjung Biru berdiam di Tenganan, Ki Buan di Batur, Ki Tambiak
berdiam di Jimbaran, Ki Kopang di Seraya, Ki Kalung Singkal bertempat tinggal di Taro.
Sri Gajah Waktera menentang dan tidak bersedia tunduk dibawah kekuasaan Majapahit, sehingga menimbulkan ketegangan antara Kerajaan
Bali dan Kerajaan Majapahit. Dalam rapat yang diadakan oleh Ratu TribhuwanaWijayatunggadewi dengan para Mentri Kerajaan, Patih Gajah Mada menyampaikan sindiran secara halus melalui
seorang pendeta istana (Pendeta Purohita) yang bernama Danghyang Asmaranata“ Ada suatu cerita yang menceritakan sorga yang rusak akibat ulah dari seorang manusia. Semua Gandarawa takut karena diserang oleh manusia yang bernama Werkodara “
Ratu Tribhuwana Tunggadewi yang telah maklum akan maksud sindiran tersebut kemudian menjawab:
“ Sungguh benar katamu itu Mada kalau tidak Bhatara Bayu lekas datang menasehati sang Werkodara, pastilah sorga itu hancur lebur keadaannya.
Pendeta Purohita Danghyang Asmaranata
kemudian meyampaikan pendapatnya
“Memang benar sabda paduka, perihal yang tadi disebut Bhimaswarga karena sang Werkodara itu sungguh sungguh teguh dan perwira “
Atas saran kedua orang kepercayaannya tersebut Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi kemudian memerintahkan kepada para Menterinya
“ Wahai paman paman sekalian, kini ada yang kami anggap manusia yang bernama Werkodara mengacau sorga yakni Raja Bali. Beliau sekarang tidak mau menghiraukan perintah kita disini. Oleh Karena itu marilah kita mencari Bhatara Bayu untuk menasehati atau menghukum Raja Bali itu “
Demikianlah hasil rapat tersebut yang memutuskan melaksanakan ekspedisi ke Pulau Bali untuk menangkap Raja Sri Gajah Waktera. Namun demikian usaha untuk menundukkan Bali tidaklah mudah karena Kerajaan bali dikawal oleh patih dan menteri yang memiliki kesaktian yang sangat tinggi sehingga sulit untuk ditaklukkan.
Rapat akhirnya memutuskan bahwa sebelum Gajah Mada melakukan penyerangan ke Bali maka Kebo Iwa sebagai orang yang kuat dan sakti di Bali harus disingkirkan terlebih dahulu. Jalan yang ditempuh dengan tipu muslihat yaitu raja putri Tribhuwana Tunggadewi mengutus Gajah Mada ke Bali dengan membawa surat yang isinya seakan-akan raja putri menginginkan persahabatan dengan raja Bedahulu.
Keesokan harinya berangkatlah patih Gajah Mada ke Bali melalui
lapangan Bubat kemudian meyusuri pantai dipesisir desa Pejarakan, Telagorung,
Palu Ayam, Kapurancak dan mendarat di pantai Jembrana. Dari sana patih Gajah Mada melanjutkan
perjalanan dengan berjalan kaki melalui pesisir Umabangkah, Seseh, Kadungayan,
Kalahan , Tuban dan terus ke Gumicik. Dari Gumicik Patih Gajah Mada mengarah ke
utara menuju Sukawati. Di Sukawati Patih Gajah Mada dijemput oleh
Kipasung Grigis yang sudah mengetahui perihal kedatangan patih Gajah Mada tersebut ke
Bali.
Dalam pertemuannya dengan Ki Pasung
Grigis, Patih Gajahmada menyampaikan
maksud dan tujuannya ke Bali karena diutus oleh Ratu Tribhuwana Tunggadewi
untuk menyampaikan surat kehadapan Raja Sri Gajah Waktera. Mendengar keterangan
tersebut Ki Pasung Grigis sangat risau hatinya karena menduga pasti ada sesuatu
hal yang sangat penting sampai mengutus seorang patih Gajah Mada yang sangat
disegani di wilayah Nusantara untuk datang ke Bali. Ki Pasung Grigis
mempersilahkan Patih Gajah Mada untuk menunggu
terlebih dahulu di Karang Kepatihan karena kedatangan Patih Gajahmada akan
dilaporkan terlebih dahulu Kehadapan Raja Sri Gajah Waktera.
Tiada diceritakan dalam perjalanannya Ki Pasung Grigis akhirnya sampai di Istana Bedulu dan langsung menghadap sang Prabu untuk melaporkan perihal kedatangan Patih Gajah Mada dari Majapahit. Kemudian atas ijin sang Prabu, Ki Pasung Grigis kemudian mempersilahkan Patih Gajah Mada untuk menghadap Raja Sri Gajah Waktera di Istana Bedulu.
Dihadapan Raja Sri Gajah Waktera patih Gajah Mada menyampaikan maksud kedatangannya dan menyerahkan surat dari Ratu Majapahit Tribhuwana Tunggadewi. Surat tersebut kemudian diterima yang isinya
“ Hormat susuhunan pukulun yang menaungi bumi Bali ini. Kami di Majapahit sebagai burung elang dalam bulan oktober, berkepanasan berharap harap hujan. kami disini sebagai burung tadahasih yang selalu meratap pada waktu bulan tak bersinar. Tiada lain hanya Sri Susuhunanlah yang patut menaungi bumi ini dan yang patut dijunjung. Dari itu harapan kami janganlah kiranya paduka tuan menyimpang dari tali persahabatan kita yang sudah erat sedari dulu. Kami risau karena menurut berita berita yang kami peroleh, konon Sri Susuhunan akan menyerang kekuasaan kami di Jawa. Nah jika sungguh kabar itu demikian, kami mohon sekali agar penyerbuan paduka terhadap kami diurungkan. Maksud kami tak lain dan tak bukan hanya berkawan saja dengan Sri Susuhunan disini. Sekiranya maksud kami, paduka setujui maka kami mohon kiranya Paduka sudi mengirim Ki Kebo Iwa yakni patih paduka yang masih jejaka ke Jawa bersama patih Gajah Mada. Maksud kami, ia akan kami nikahkan dengan putri Lemah Tulis yang sangat masyur kecantikannya. Itulah kebaikan kami yang kami tunjukkan kepada paduka demi untuk mempererat persahabatan diantara kita. Sekian hormat dari kami Tribhuwana “
Demikianlah isi surat dari ratu Tribhuwana Tunggadewi. Sri
Baginda sangat gembira hatinya setelah membaca surat tersebut dan hatinya tiada
terbalas akan kebaikan hati ratu Majapahit tersebut. Menanggapi tawaran dari Majapahit, Patih Kebo Iwa
yang setia terhadap rajanya, memohon petunjuk dan persetujuan dari baginda Sri
Astasura Bumi Banten. Sang Raja menyetujuinya tanpa rasa curiga. Sebelum pergi
ke Majapahit, Patih Kebo Iwa
terlebih dahulu melakukan upacara keagamaan di Pura Uluwatu, untuk meminta
kekuatan dari Sang Hyang Rudra. Dan Sang Hyang Rudra memenuhi permintaan Kebo
Iwa, mengakibatkan meningkatnya kekuatan dan kesaktian menjadi sangat luar
biasa.
Patih Gajah Mada bersama Ki Kebo
Iwa kemudian mohon pamit kepada Sri Baginda. Mereka berjalan mengarah keselatan
menuju pesisir pantai. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan mengarungi
lautan, namun ketika sampai di tengah lautan tiba tiba Ki Kebo Iwa terjatuh ke
dalam lautan. Hal tersebut memang telah direncanakan sebelumnya oleh patih Gajah Mada untuk
menyingkirkan Ki Kebo Iwa. Akan tetapi walaupun jatuh di laut yang dalam Ki
Kebo Iwa karena kesaktiannya mampu berenang dan menyusul sampan patih Gajah Mada. Melihat hal
tersebut patih Gajah Mada tiada berdaya lagi dan mencari jalan lain untuk
menyingkirkan ki Kebo Iwa.
Setelah menempuh perjalanan yang
panjang akhirnya sampailah mereka di pesisir pantai Banyuwangi. Disana mereka
mampir di rumah Raden Arya. Keesokan harinya patih Gajah Mada akan
melanjutkan perjalanannya ke Majapahit dan minta ke pada Kebo Iwa untuk menunggunya di
tempat ini karena ia akan meloporkan terlebih dahulu hasil perjalanannya ke
Pulau Bali kepada Ratu Majapahit.
Tidak diceritakan dalam perjalanannya sampailah Patih Gajah Mada di Istana Majapahit dan langsung menghadap Ratu Tribhuwana Tunggadewi melaporkan hasil kunjungannya ke Pulau Bali menemui Raja Sri Gajah Waktera. Patih Gajah Mada juga melaporkan bahwa telah berhasil membawa Kebo Iwa kemari dan sekarang telah menunggu di banyuwangi di rumah Raden Arya serta berbagai upaya yang telah dilakukan untuk melenyapkan Kebo Iwa namun selalu menemui kegagalan. Setelah melalui perundingan yang cukup panjang akhirnya diputuskan bahwa upaya yang ditempuh adalah dengan menyediakan soerang gadis cantik untuk menggoda Kebo Iwa.
Ki Kebo Iwa adalah seorang yang
sangat disegani karena kesaktian yang dimiliki dan sifat pemberani serta
kejujuran hatinya sehingga sampai sampai Majapahit yang sangat
termasyur akan kejayaannya di medan pertempuran mengalami kesulitan untuk
menundukkan kerajaan Bali kalau patih Kebo Iwa masih ada.
Untuk mengungkap lebih jauh tentang keberadaan Kebo Iwa berikut kami uraikan mengenai asal usul beliau :
Di desa Bedahulu wilayah kabupaten Tabanan, Bali pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri yaitu Ki Demang yang terkenal dengan lurah Bekung ( Lurah-sakti dan bekung ). Lama beliau tidak berputra sedangkan Ki Demang ini sangat dihormati, disegani, oleh kawan dan lawan, beliaulah yang menciptakan Yeh ngenu, hasil dari membedah-hulu sungai, sehingga desanya disebut dengan desa Bedah-Hulu ( bukan bedahulu ) yang tadinya desanya adalah kering krontang, tandus dengan adanya Yeh Ngenu, maka desanya menjadi subur makmur, sampai terkenal kesuburannya didaerah Bali. Hanya sayang beliau tidak punya keturunan, akhirnya dengan menggunakan Mantramnya untuk Nyeraya Putra ( Nunas kesidian ngelungsur Putra ) dengan jalan Agni Gotra, beliau mohon kepada Sang Pencipta untuk diberikan keturunan. Namun karena niat yang terlalu besar untuk mempunyai keturunan sehinnga secara tidak sengaja istrinya menyampaikan permohonan yang berlebihan .
“Asalkan diberkati putra, berapapun kuat makan putranya itu akan diladeni”
Demikianlah konon sosot / sesangi tambahan yang nyeplos dari istri Ki Demang tersebut. Waktu pun berlalu sampai akhirnya sang istri mulai mengandung, betapa bahagianya mereka. Beberapa bulan kemudian, lahirlah seorang bayi laki-laki. Bayi tersebut hendak disusui oleh ibunya, namun jarinya terus menunjuk ke arah sebuah nasi kukus. Bahwa nantinya anak ini akan menjadi tokoh besar, sudah nampak tanda- tandanya sejak dini.
Bayi itu menangis merengek seolah
meminta sesuatu. Sang Ibu kasihan mendengar rengekan sang bayi , Ibu kemudian
mengambil nasi kukus tersebut dan mencoba untuk memberikannya pada bayi. Ibu
bergumam dalam hatinya : Apakah anak ini ingin merasakan nasi kukusan ini?
Umurnya belum cukup untuk makan nasi?”
Tak dinyana ternyata bayi tersebut
memakan nasi kukus tersebut dengan lahapnya. Ibu bayi tersebut menampakkan
keterkejutan yang sangat. Ketika baru lahir, anak tersebut sudah bisa untuk
memakan nasi… Ibu:” Astaga, Kau telah berikan anak yang luar biasa, ya Hyang
Widi… Ternyata yang lahir bukanlah bayi biasa. Ketika masih bayi pun ia sudah
bisa makan makanan orang dewasa. Anak itu tumbuh menjadi orang dewasa yang
tinggi besar. Karena itu ia dipanggil dengan nama Kebo Iwa, yang artinya paman kerbau.
Kebo Iwa makan dan makan terus
sehingga lama kelamaan habislah harta orang tuanya untuk memenuhi selera
makannya. Mereka pun tak lagi sanggup memberi makan anaknya. Dengan
berat hati mereka meminta bantuan desa. Sejak itulah segala kebutuhan makan
Kebo Iwa ditanggung desa. Penduduk desa kemudian membangun rumah yang sangat
besar untuk Kebo Iwa. Mereka pun memasak makanan yang sangat banyak untuknya.
Tapi lama-lama penduduk merasa tidak sanggup untuk menyediakan makanan.
Kemudian mereka meminta Kebo Iwa untuk memasak sendiri. Mereka cuma menyediakan
bahan mentahnya. Bahan-bahan pangan tersebut diolah oleh Kebo Iwa di Pantai Payan,
yang bersebelahan dengan Pantai Soka.
Danau Beratan merupakan tempat dimana , Kebo
Iwa biasanya membersihkan, walaupun jaraknya cukup jauh namun dengan tubuh
besarnya jarak tidak menjadi masalah baginya, dia bisa mencapai setiap tempat
yang diinginkannya di wilayah Bali dengan waktu singkat. Kebo Iwa memang serba
besar. Jangkauan kakinya sangat lebar, sehingga ia dapat bepergian dengan
cepat. Kalau ia ingin minum, Kebo Iwa tinggal menusukkan telunjuknya ke tanah.
Sehingga terjadilah sumur kecil yang mengeluarkan air.
Walaupun terlahir dengan tubuh besar,
namun Kebo Iwa adalah seorang pemuda dengan hati yang lurus. Suatu ketika dalam
perjalanannya pulang dari danau Beratan, Tampak segerombolan orang dewasa yang tidak
berhati lurus. Dari kejauhan para warga desa merasa sangat cemas. Tampak
seorang dari mereka tersita perhatiannya pada seorang gadis cantik. Laki-laki
itu menggoda gadis ini dengan kasar, gadis ini menjadi takut dan enggan
berbicara. Laki-laki itu semakin bernafsu dan tangan-tangannya mulai melakukan
tindakan yang tidak senonoh.
Tiba-tiba Kebo Iwa muncul di belakang gerombolan tersebut, mencengkeram tangan salah seorang dari mereka, nampak kegeraman terpancar dari wajahnya, laki-laki itu menjerit kesakitan, gerombolan itu sangat terkejut melihat Kebo Iwa yang begitu besar, ketakutan nampak dari raut muka gerombolan tersebut. Gerombolan tersebut kemudian lari tunggang langgang. Demikianlah Kebo Iwa membalas jasa baik para warga desanya dengan menjaga keamanan di mana dia tinggal. Tubuh yang besar sebagai karunia dari Sang Hyang Widi dimanfaatkan dengan sangat baik dan benar oleh Kebo Iwa.
Pada abad 11 Masehi, sebuah karya
pahat yang sangat megah dan indah dibuat di dinding Gunung Kawi, Tampaksiring.
Kebo Iwa yang memahat dinding gunung dengan indahnya, hanya dengan menggunakan
kuku dari jari tangannya saja. Karya pahat tersebut dibuat hanya dalam waktu
semalam suntuk, menggunakan kuku dari jari tangan Kebo Iwa. Pahatan tersebut
diperuntukkan memberikan penghormatan kepada Raja Udayana, Raja Anak Wungsu,
Permaisuri dan perdana menteri raja yang disemayamkan disana. Raja Anak Wungsu
adalah raja yang berhasil mempersatukan Bali.
Salah satu hal yang paling istimewa
dari Kebo Iwa adalah kemampuannya untuk membuat sumur mata air. Kebo Iwa dengan
segenap kekuatan menusukkan jari tangannya ke dalam tanah, dengan kekuatan jari
tangannya yang dahsyat, dia mampu mengadakan sebuah sumur mata air, hanya
dengan menusukkan jari telunjuknya ke dalam tanah. Beragam kemampuan yang luar
biasa tersebut, menyebabkan timbulnya daya tarik tersendiri dari pribadi
seorang Kebo Iwa. Dan kekuatan luar biasa itu, menyebabkan seorang raja yang
berkuasa keturunan terakhir dari Dinasti Warma Dewa, bernama Sri Astasura Bumi
Banten… menginginkan Kebo Iwa untuk menjadi salah satu patihnya di wilayah
Blahbatuh…Yang juga dikenal dengan sebutan Raja Bedahulu.. Kebo Iwa diangkat
menjadi Patih kerajaan dan saat itu dia mengucapkan janji bahwa selama Kebo Iwa
masih bernafas Bali tidak akan pernah dikuasai.
Dengan dukungan dari patih Kebo Iwa
yang luar biasa kuat, Sri Astasura Bumi Banten menyatakan bahwa kerajaannya
tidak akan mau ditundukkan oleh kerajaan Majapahit yang berkehendak untuk menaklukkan kerajaan di Bali.
Adapun kerajaan Majapahit waktu itu dipimpin oleh Ratu Tribhuwana Tunggadewi,
dengan patihnya yang paling terkenal dengan Sumpah Palapanya (sumpah untuk
tidak menikmati kenikmatan dunia bila seluruh wilayah nusantara belum
dipersatukan di bawah panji Majapahit) yang bernama Gajah Mada.
Kembali ke awal cerita dimana salah
seorang Kriyan diutus untuk menjemput Ki Kebo Iwa yang ditinggal oleh Patih Gajah Mada di daerah
Banyuwangi berhasil menemui Ki Kebo Iwa dan mengantarnya ke Istana Majapahit. Kedatangan Patih Kebo Iwa ke tanah Majapahit
menyebabkan para tentara, baik yang belum pernah melihatnya maupun yang pernah
takluk atas kekuatannya, menjadi terperangah, kagum, bercampur rasa ngeri dan
waspada, tentara Majapahit, menampakkan
ekspresi terkejut dan cemas. Arah pandang mereka terpusat ke satu tujuan yang
sama. Beberapa diantara mereka nampak sedang berbisik pelan dengan teman yang
berada di sebelahnya ;
“Lihatlah ukuran tubuhnya! Luar biasa ! Mengerikan !”.
Patih Gajah Mada menyambut kedatangan Patih Kebo Iwa: “Salam, Patih yang tangguh ! Selamat datang di Kerajaan Majapahit”. Patih Kebo Iwa yang menimpali salam dari Patih Gajah Mada :
“Terima Kasih Patih, kiranya anda bersedia untuk langsung menjelaskan maksud dari baginda Tri Bhuwana Tunggadewi yang meminta saya untuk datang ke Majapahit".
Gajah Mada : “Seperti yang
telah dikabarkan sebelumnya, Patih kebo Iwa, baginda Raja mengharapkan kedatangan
patih guna menjalin suatu tali persahabatan dengan Kerajaan Bedahulu di Bali
dan juga berharap agar patih bersedia menemui wanita terhormat pilihan baginda
yang dirasa pantas untuk mendampingi seorang patih yang tangguh seperti anda”.
Gajah Mada menarik nafas panjang kemudian melanjutkan kata-katanya: “Akan tetapi sebelumnya, akan sangat berati apabila Patih kerajaan. Kebo Iwa berkenan membuat sumur air di sana yang nantinya akan dipersembahkan untuk wanita calon pendamping anda. Lebih lagi, sumur itu nantinya juga akan dimanfaatkan oleh rakyat kerajaan Majapahit yang saat ini sedang kekurangan air. Kiranya patih berkenan mengabulkan permohonan ini.
Patih Kebo Iwa memiliki jiwa besar dan lurus hatinya, akhirnya diapun meluluskan permintaan tersebut. Nampak Patih Kebo Iwa yang sedang mempertimbangkan permintaan tersebut. Kemudian memutuskan untuk memenuhi permintaan tersebut. Kebo Iwa (berpikir sejenak) kemudian dia berkata:
“Baiklah, biarlah kekuatanku ini kupergunakan untuk sesuatu yang menghadirkan berkat bagi orang banyak”.
Tanpa banyak cakap lagi, patih Kebo Iwa segera melakukan aktivitasnya untuk menciptakan sebuah sumur air. Sebelum memulai pekerjaannya, tidak lupa Patih Kebo Iwa meminta pedoman dari Sang Hyang Widi. Kebo Iwa : (dalam hati) Ya Yang Kuasa, segala yang akan saya lakukan semoga menggambarkan kebesaran namaMu. Kebo Iwa mulai menggali sumur di tempat yang telah ditunjuk. Dalam waktu yang cukup singkat, sumur telah tergali cukup dalam. Namun belum ada mata air yang keluar. Di atas lubang sumur yang digali oleh Patih Kebo Iwa, para prajurit Majapahit terlihat berkerumun, nampak mereka memusatkan pehatian pada Patih Gajah Mada. Seakan mereka menantikan sesuatu perintah…Tiba-tiba Gajah Mada berteriak :
“Timbun dia dengan batu………!!!!” Seketika itu juga, para prajurit menimbun kembali lubang sumur yang sedang dibuat, dengan Patih Kebo Iwa berada di dalamnya.
Para prajurit menimbun lubang sumur dengan batu hasil galian itu sendiri, nampak Kebo Iwa sangat terkejut dan berusaha menahan jatuhnya batu. Dalam waktu yang singkat, lubang sumur itupun tertutup rapat mengubur seorang pahlawan besar didalamnya. Patih Gajah Mada yang berbicara kepada para prajuritnya :
“Sungguh amat disayangkan seorang pahlawan besar seperti dia harus mengalami ini. Namun, hal ini terpaksa harus dilakukan, agar nusantara ini dapat dipersatukan. Dengan ini kerajaan Bali akan menjadi bagian dari Majapahit .”
Tiba-tiba timbunan batu melesat ke
segala penjuru, menghantam prajurit Majapahit, terdengar teriakan membahana dari dalam sumur. Kebo
Iwa : (berteriak)
“Belum ! Bali masih tetap merdeka, karena nafasku masih berhembus !!.
Batu-batu yang ditimbunkan melesat kembali keangkasa dibarengi dengan teriakan prajurit Majapahit yang terhempas batu. Dari dalam sumur, keluarlah Patih Kebo Iwa, yang ternyata masih terlalu kuat untuk dikalahkan. Patih Gajah Mada terkejut, menyaksikan Patih Kebo Iwa yang masih perkasa, dan beranjak keluar dari lubang sumur.
Kebo Iwa : “Dan pembalasan adalah apa yang kutuntut dari sebuah pengkhianatan !” Patih Kebo Iwa menyerang Patih Gajah Mada dengan kemarahan dan dendam yang mewarnai pertempuran. Akibat amarah dan dendam yang dirasakan oleh Patih Kebo Iwa, pertempuran berlangsung sengit selama beberapa waktu. Disela-sela saling serang Gajah Mada berteriak:”Untuk memersatukan dan memperkuat nusantara, segenap kerajaan hendaklah dipersatukan terlebih dahulu. Dan kau berdiri di garis yang salah sebagai seorang penghalang !”.
Kesaktian Patih Kebo Iwa, sungguh menyulitkan usaha Patih Gajah Mada untuk menundukkannya. Pertempuran antara keduanya masih berlangsung hebat, namun amarah dan dendam Patih Kebo Iwa mulai menyurut…Dan rupanya Patih Kebo Iwa tengah bertempur seraya berpikir … Dan apa yang tengah dipikirkan olehnya, membuat dia harus membuat keputusan yang sulit… Kebo Iwa : (dalam hati) Kerajaan Bali pada akhirnya akan dapat ditaklukkan oleh usaha yang kuat dari orang ini, keinginannya untuk mempersatukan nusantara agar menjadi kuat kiranya dapat aku mengerti kini. Namun apabila, aku menyetujui niatnya dan ragaku masih hidup, apa yang akan aku katakan nantinya pada Baginda Raja sebagai sangkalan atas sebuah prasangka pengkhianatan ? Masih dalam keadaan bertempur, secara sengaja Patih Kebo Iwa melontarkan pernyataan yang intinya mengenai hal untuk mengalahkan kesaktiannya.
“Wahai Patih Gajah Mada ! Cita-citamu untuk membuat nusantara menjadi satu
dan kuat kiranya dapat aku mengerti, namun selama ragaku tetap hidup sebagai
abdi rajaku, aku akan menjadi penghalangmu. Maka, taklukkan aku, hilangkan
kesaktianku dengan menyiramkan bubuk kapur ke tubuhku.
Pernyataan Patih Kebo Iwa rupanya membuat terkesiap Patih Gajah Mada. Patih Gajah Mada menunjukkan reaksi keheranan yang amat sangat atas perkataan Patih Kebo Iwa. Gajah Mada yang mengerti atas keinginan Kebo Iwa, nampak menghantamkan jurusnya ke batu kapur, batu itupun luluh lantak menjadi serpihan bubuk. Patih Gajah Mada menyapukan bubuk tersebut ke arah Patih Kebo Iwa dengan ilmunya, bubuk kapur menyelimuti tubuh sang patih Nampak Patih Kebo Iwa, sesak napasnya oleh karena bubuk kapur tersebut.
Kiranya bubuk kapur tersebut membuat olah pernapasan Patih Kebo Iwa menjadi
terganggu, hal tersebut mengakibatkan kesaktian tubuh Patih Kebo Iwa menjadi
lenyap.Patih Gajah Mada melesat ke arah Patih Kebo Iwa, menusukkan kerisnya
ke tubuh Kebo Iwa. Dan sebelum kepergiannya, dengan sisa tenaga yang ada Patih
Kebo Iwa mengutarakan apa yang ingin dikatakan untuk terakhir kali.
Patih Kebo Iwa :
“Kiranya kematianku tidak sia-sia adanya…biarlah nusantara yang kuat bersatu hasil yang pantas atas harga hidupku”.
Patih Gajah Mada dengan raut muka sedih, memberikan jawaban atas perkataan Patih Kebo Iwa.
“Kepergianmu sebagai tokoh besar akan terkenang dalam sejarah… Sejarah suatu Nusantara yang satu dan kuat”.
Tak lama setelah mendengar pernyataan tersebut, Kebo Iwa menghembuskan napas terakhirnya, pergilah sudah, meninggalkan raga seorang patih tertangguh dalam sejarah Bali… dan pertiwi pun meredup melepas kepergian salah satu putra terbaiknya.
Meninggalnya Kebo Iwa akhirnya
memuluskan upaya Majapahit untuk melaksanakan ekspedisi ke Bali menangkap
Raja Sri Gajah Waktera. Untuk melaksanakan ekspedisi tersebut digelarlah sidang
antara Ratu Majapahit dengan para pembesar/ pejabat istana. Dalam
perundingan tersebut ikut serta adik adik Raden Cakradara yang merupakan suami
dari Ratu Majapahit Tribhuwana Tunggadewi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar